23.7.13

1.11

Jam satu lewat sebelas menit.
Kami selesai membicarakan permasalahan yang lagi-lagi terjadi di tahun ini.
Ya tentang kuliah saya.
Kali ini tapi dia beda.
Setiap kata yang keluar dari mulutnya, air mata beliau juga ingin ikut keluar.
Kami bicara dari jam dua belas lewat sepuluh.
Jam dua belas lewat empat puluh lima saya tak kuat untuk menahan air mata lagi.
Hanya tiga puluh lima  menit dimana saya mampu untuk menampung sedihnya hati ini.

Dia bilang, “ Kalau saya tidak kuat, saya mungkin gila ”. “ Rumah ini juga mungkin di jual. Saya mau pindah ke daerah kota, masuk ke gang kecil dimana tanahnya lebih murah”.
Hah?! Iya mungkin kamu memang gila. Pindah? Astaga, sesulit inikah kamu sekarang?
Laki-laki yang menjadi panutan dalam hidup saya mengapa serapuh ini.
Dan akhir kata, dalam pembicaraan ini saya cuma bisa bilang, “ Papa enggak usah khawatir, kalau rencana papa ini diputar dan berlaku atas nama papa. Saya juga enggak mau. Karena saya enggak mau ngerepotin diri kalian berdua. Saya terlalu rapuh untuk melihat kalian lelah lalu terbujur kaku. Saya akan nyari jalan lain kok untuk bisa kuliah ”.

Lalu saya sadar, ternyata saya cuma mampu untuk bicara kalimat pertama dan kedua saja.