26.12.13

saya berkata bahwa..

saya pernah berkata..
" bersama kamu. aku tidak perlu takut untuk jadi diriku sendiri "

kamu ingat bagaimana cara kita bertemu?
bukan bertabrakan di koridor kampus lalu aku menjatuhkan buku dan kamu membantu.
bukan juga, tas kita yang sama warna dan bentuk tertukar.
apalagi dengan cara kita saling benci lalu jadi cinta.
bukan seperti itu. cara kita alami.

hubungan ini baru seumur jagung.
tapi telah banyak hal yang kita laluin bersama untuk mengenal bagaimana kamu dan bagaimana aku.

kamu yang suka berita.
aku yang lebih milih puisi.
kamu yang suka Liverpool.
aku yang pasti bengong kalau di ajak nonton bola.
kamu yang tidak pernah romantis.
aku yang suka bertindak puitis.
kamu yang aku panggil kakek.
aku yang pelupa.
kamu yang tukang ngambek.
aku yang tukang ngerayu.
kamu yang begitu.
dan aku yang begini.

tapi lebih dari itu semua..
kamu melengkapi hidup saya.

saya enggak minta kebahagiaan dari kamu.
saya minta kamu mau menerima saya jadi kebahagiaan untuk kamu.


dari, aku
untuk, kamu teduh

23.7.13

1.11

Jam satu lewat sebelas menit.
Kami selesai membicarakan permasalahan yang lagi-lagi terjadi di tahun ini.
Ya tentang kuliah saya.
Kali ini tapi dia beda.
Setiap kata yang keluar dari mulutnya, air mata beliau juga ingin ikut keluar.
Kami bicara dari jam dua belas lewat sepuluh.
Jam dua belas lewat empat puluh lima saya tak kuat untuk menahan air mata lagi.
Hanya tiga puluh lima  menit dimana saya mampu untuk menampung sedihnya hati ini.

Dia bilang, “ Kalau saya tidak kuat, saya mungkin gila ”. “ Rumah ini juga mungkin di jual. Saya mau pindah ke daerah kota, masuk ke gang kecil dimana tanahnya lebih murah”.
Hah?! Iya mungkin kamu memang gila. Pindah? Astaga, sesulit inikah kamu sekarang?
Laki-laki yang menjadi panutan dalam hidup saya mengapa serapuh ini.
Dan akhir kata, dalam pembicaraan ini saya cuma bisa bilang, “ Papa enggak usah khawatir, kalau rencana papa ini diputar dan berlaku atas nama papa. Saya juga enggak mau. Karena saya enggak mau ngerepotin diri kalian berdua. Saya terlalu rapuh untuk melihat kalian lelah lalu terbujur kaku. Saya akan nyari jalan lain kok untuk bisa kuliah ”.

Lalu saya sadar, ternyata saya cuma mampu untuk bicara kalimat pertama dan kedua saja.

2.6.13

Ini bukan saya. Tapi Dia.

Dia terlihat tersenyum karena engkau bahagia.
Bahagia bersama wanita lain.
Ah, dia pikir hal itu akan menjadi suatu yang biasa baginya.
Walau tetap butuh waktu untuk tidak mengenangnya kembali.
Siapa yang tahu? Kalau sakit hati lebih sakit daripada sakit gigi?
Tapi mungkin kalimat itu lebih cocok untuk para wanita.
Yang katanya sih, paling perasa.
Oh, Maha Pencipta. Kenapa harus wanita yang Kau ciptakan untuk menjadi mahluk perasa nomor satu di dunia?
Kenapa tidak lelaki, biar kita yang berdarah untuk mengandung dan melahirkan. Tapi mereka yang merasakan sakitnya?


Dari, Dia
Untuk, kaum yang katanya lelaki.

12.5.13

siapa yang sangka?

Pernah mencintai kamu, bukan suatu kesalahan.
Saya anggap, hal itu adalah permainan dari Tuhan.
Permainan yang dapat menghasilkan keputusan yang sangat besar.
Karena jika menang, kamu mendapatkannya. Jika kalah? Kamu gagal, dan mencoba di level selanjutnya.
Saya berharap saya dapat membaca hal yang tersirat.
Mengetahui apa yang ada di pikiran kamu.
Melakukannya semua dengan sempurna.
Tapi saya tidak punya kemampuan untuk membaca pikiran.
Dan kamu juga tidak membuka jalan untuk saya mencoba kembali.
Jadi hal ini akan percuma. Tapi tidak membuang-buang waktu.
Terkadang, saya berharap agar kamu berbohong.
Hanya untuk tetap menjaga perasaan saya.
Terselamatkan dari sakit hati dan patah hati.
Atau menyelamatkan harga diri.
Tapi kamu semakin hebat. Kamu mulai menyukai kebenaran.
Tapi siapa yang sangka, kebenaran membuat kita berhenti?


dari, saya
untuk, kamu

9.5.13

Me : Why am I different from others?
God : Why.. Do you have to be like others?

Dulu saya selalu bertanya. Kenapa jalan yang Tuhan beri terlalu sulit untuk saya lalui?
Kenapa saya tidak langsung bisa untuk mengambil jurusan yang saya inginkan dan menjalaninya seperti teman-teman saya? Kenapa saya harus berjuang untuk apa yang saya mau lakukan? Kenapa saya berbeda? Dan dengan mudah Tuhan menjawab, " Mengapa harus seperti mereka? ". Dari situ saya punya teori tentang berjalan lambat.

Saya terlalu bodoh kalau harus terus menunggu tanggung jawab dari Ayah saya. Jadi yang bisa saya lakukan hanya tetap di jalan ini. Jalan yang lambat, namun pasti. Se-pasti Tuhan ada di muka bumi ini.

4.5.13

Hati saya menyuruh untuk menyerah. Mungkin dia terlampau tak kuat untuk menahan tubuh saya. Tapi dengan gampangnya otak saya memberikan satu pertanyaan. Apa yang akan Tuhan beri jika sekarang saya menyerah? Lalu dengan egoisnya otak saya menodong dengan banyak pertanyaan. Salah satunya, memangnya apa yang kamu mulai? Saya benar-benar enggak mengerti. Buat apa saya ada di bumi? Apa cuma buat jadi khalifah seperti agama saya bilang? Khalifah untuk apa? Memimpin untuk siapa? Wong, jaga diri sendiri aja enggak mampu. Tapi sialnya, Tuhan memperkenalkan saya dengan manusia-manusia hebat. Manusia yang membuat saya jatuh cinta dengan mereka. Dan itu yang sampai sekarang menjadi alasan saya masih ada di sini. Terlampau mengada? Enggak. Ada kalanya saya enggak kuat. Enggak mampu. Dan benar-benar merasa saya ini bukan siapa-siapa. Tapi ya karena manusia yang Tuhan kasih itu tadi. Yang membuat saya untuk tetap ada dan setidaknya memberikan mereka senyuman kecil di setiap harinya.

1.5.13

Perubahan

Perubahan memang tidak bisa dipungkiri.
Seperti @pandji bilang bahwa, dunia terus berubah.
Dia memberi satu contoh, yaitu pabrik mesin tik sudah punah. Pabrik- pabrik lain menyusul seiring kemajuan jaman. Dan ini bukan jahat, ini keadaan yang tidak bisa dipungkiri. Perubahan.

Kalau saya boleh kasih contoh, wartel pun telah punah. Jaman sekarang siapa yang tidak punya telepon genggam yang bisa dibawa kemana- mana. Padahal wartel telah memberikan suatu kenangan. Masuk kedalam kotak yang besar, mengangkat gagang telepon, mengambil catatan nomor telepon yang dituju atau apabila kita telah hafal atau bahkan sering kali menelepon sang pujangga kita bisa langsung memencet sederetan angka yang tertera. Setelah menghabiskan beberapa jam untuk menelepon, kita keluar dari kotak besar itu dan datang ke kasir. Lalu kaget dengan jumlah tarif yang harus dibayar. Dan, kenangan kayak gitu yang mahal.

Itu kalau barang, kalau kita bicara perasaan? Kalau perasaan bisa berubah?
Saya yakin bisa, tapi setiap orang berbeda.
Ada satu contoh, beliau seorang wanita berumur 40 tahun. Ia menikah dengan seorang pria yang beda umurnya adalah 13 tahun. Mereka berpacaran saat sang wanita adalah seorang pelajar SMA kelas dua dan sang pria adalah pegawai swasta. Mereka menikah setelah sang wanita lulus SMA, dan akhirnya dikaruniai dua anak. Entah waktu yang pada akhirnya membuat suatu perubahan. Sang lelaki pergi dengan wanita lain, dan istrinya ditinggal begitu saja. Sekarang sudah sepuluh tahun semenjak perpisahan mereka. Sang pria masih dengan istri barunya. Dan bagaimana dengan sang wanita? Kalau anda semua berjuta- juta kali bertanya pada wanita ini, bagaimana perasaanmu terhadap suamimu?
Jawabannya akan selalu sama, " Sampai sekarang saya tetap mencintainya, saya tetap mendoakannya. Ini masih sepuluh tahun, belum berpuluh- puluh tahun. Mungkin saat saya sudah berkepala delapan, mungkin saat itu saya berubah. "



Dari, saya (anak sang wanita)
Untuk, segala macam perubahan.